Jumat, 25 Januari 2008

Bush = Nekat = Predator

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Tampaknya seorang penguasa, atau lebih pantas disebut kaisar tipe abad tengah, seperti Presiden Bush, sulit sekali membuka telinga untuk mendengar seruan kebenaran. Dulu alasan utama untuk menyerang Irak tahun 2003 adalah karena katanya Saddam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal, tetapi ternyata tuduhan itu hanyalah sebuah isapan jempol.
Kemudian setelah Irak hancur, mata pedangnya diarahkan kepada Iran karena negara ini dituduh sedang mengembangkan persenjataan nuklir. Dr Muhammad Al Baradei, direktur jenderal IAEA sudah berkali-kali mengatakan bahwa pengembangan nuklir Iran semata-mata bertujuan damai, sama sekali tidak punya dimensi persenjataan atau militer. Tetapi, telinga Bush dan pendukungnya kelompok neo-konservatif Amerika tetap saja tertutup. Ambisi untuk menyerang Iran terus saja diagendakan, sementara Israel yang sudah lama punya senjata nuklir dibela sampai ke ujung langit. Tidak peduli apa kata dunia, pokoknya Israel tidak boleh diganggu.

Semetara itu, negara-negara Arab karena virus perpecahan yang terus menggerogoti mereka telah lama lumpuh menghadapi agresi Israel dengan dukungan penuh Amerika. Kemerdekaan Palestina yang dulu pernah dikatakan Bush akan terjadi tahun 2005, semakin tidak jelas saja. Ironisnya lagi, perseteruan Hammas dan Fatah sebagai wabah internal Palestina telah semakin melemahkan posisi bangsa yang menderita ini dalam upaya mendapatkan kemerdekaannya.

Bahwa Iran ingin menjadi yang dipertuan di kawasan Asia Barat, memang tidak dapat disangkal. Inilah sebenarnya yang dicemaskan Amerika karena akan sangat mengganggu dominasi imperialistiknya di bumi yang kaya minyak ini. Sebab itu harus dicari segala akal agar Iran tidak tampil sebagai negara terkuat di wilayah ini. Dalam pada itu, untuk menghadapi Iran, negara-negara Arab tertentu sesungguhnya lebih memercayai Amerika sebagai pelindung.
Dengan demikian pertanyaan tentang di mana peran dan posisi Alquran di kalangan negara-negara Muslim itu menjadi tidak relevan. Baik negara-negara Arab maupun Iran telah berabad-abad memiliki tafsiran sendiri terhadap Kitab Suci ini dengan akar teo-politik yang sulit didamaikan. Pertanyaan itu baru relevan jika semuanya mau membebaskan diri dari subjektivisme historis dan kepentingan duniawi.

Tetapi, siapa yang mau memulai terobosan strategis itu? Di sinilah terletaknya masalah pelik itu. Kembali ke isu nuklir Iran. Hari-hari ini Bush tengah menghadapi tantangan yang sangat serius, justru datang dari Badan Pertimbangan Intelijen Nasional Amerika (NEI) sendiri, bukan lagi dari IAEA yang dipimpin Al Baradei itu, seorang Muslim asal Mesir. NEI dalam laporannya setebal 100 halaman baru saja membeberkan bahwa Iran telah menghentikan program senjata nuklirnya sejak tahun 2003. Dengan fakta ini habislah alasan untuk menyudutkan Iran dengan segala macam sanksi PBB hasil rekayasa Amerika.
Tetapi, untuk kepentingan neo-imperialismenya, Amerika pasti akan tetap nekat sampai Iran hancur pula. Maka, julukan yang dipasangkan penulis Perancis Emmanuel Todd terhadap Amerika sekarang sebagai predator, bukan lagi protektor (pelindung), sangat beralasan dan tepat sekali. Dalam kaitannya dengan Amerika sekarang, watak predator itu tampak dalam nafsu untuk memangsa siapa atau apa saja yang dipandang sebagai perintang bagi terwujudnya sebuah ambisi besar mengangkangi dunia. Sebuah ambisi utopis yang sudah sangat kesiangan, tetapi Bush tetap saja nekat untuk memburunya. Inilah sumber malapetaka global itu. Quo vadis Amerika?

Republika, Selasa, 11 Desember 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah kereeeeeen ne blog'N...semangat, terus berjuang...hidup Muhi...!!!