Sabtu, 13 September 2008

Orang - orang Yang Aneh

he..he...he...46X inilah orang - orang yang aneh. Ya inilah sahabat sahabatku selama KKN PPL. Berbagai pengalaman telah aku dapatkan bersama teman - teman. Sedih, duka dan sebagainya menjadi bumbu kehidupan. Kepada kawan - kawanku semoga kita menjadi pemimpin yang amanah, Amin.......

Sabtu, 21 Juni 2008

Kenangan Fasilitator Keaksaraan Fungsional


Satu pengalaman yang tak akan terlupakan adalah ketika memberikan pembelajaran keaksaraan bagi orang yang terpinggir dan dari peradaban Kota. Suatu tempat yang bernama Desa Wonolelo Kecamatan Pleret kabupaten Bantul, yang merupakan daerah tertinggi ke 2 buta aksara di bantul. Pembelajaran yang mayoritas warga belajar perempuan yang notebenya selalu terpinggirkan. Pembelajaran yang sangat menyenangkan teryanta masih ada pada zaman sekarang orang tidak mengenal huruf A sampai Z dan itulah kondisi pendidikan di Indonesia.

Satu hal yang membuat saya semakin termotivasi adalah kesungguhan dan semangat yang tinggi dari pere peserta, peserta yang usianya sudah diatas 45 tahun masih menyempatkan diri untuk belajar. Pertanyaannya adalah apakah kita yang masih muda tidak ingin belajar ? Saya mendapatkan pembelajaran hidup dari Ibu " WAGINEM " untuk selalu belajar dan belajar. Apakah Anda Tidak termotivasi ??

Sabtu, 15 Maret 2008

Refleksi Di Kopeng



Lagi Berwisata Di Kopeng

Bersama Teman - Teman



Temanku Semoga Kita Menjadi Pemimpin Yang Amanah

Sabtu, 09 Februari 2008

Warna Kehidupan

Ini sebuah refleksi kehidupan, para pembaca sekalian saya mendapatkan sebuah sms yang berbunyi seperti ini :

" Semoga kita menjadi orang yang senantiasa membaca arti, warna dan irama kehidupan, Sahabatku percayalah Allah kan berikan yang terbaik atas pilihan - Nya"

( Sms Dari 081 327 602 XXX )

SMS memberi inspirasi saya dalam melakukan Refleksi diri. Pembaca sekalian SMS tersebut saya kira cocok untuk pembaca sekalian. Hidup ini penuh tantangan, yang jadi pertanyaan besar adalah bagaimana kita menghadapai tantangan hidup itu. Orang yang menang adalah orang yang mampu mengadapi tantangan itu dan mampu bersyukur atas nikmat yang deberikan Allah SWT.
Harapannya kita sebagai manusia kita mampu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah dan ilmu yang kita miliki bermanfaat bagi orang lain.
La takhaf, walla tahzan, innalaha' maana ( jangan takut, jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita )

Tetap Semangat.........
Selamat berkarya...............

Ada

Ada

Ada lara dan bahagia
Ada nelangsa dan suka
Ada-ada saja cerita
Tentang kehidupan manusia

Senin, 04 Februari 2008

Riset dan Kebijakan Pendidikan

Riset dan Kebijakan Pendidikan
 

Elin Driana

Hasil The Programme for International Student Assessment atau PISA, yang menilai kesiapan siswa berusia lima belas tahun untuk mengaplikasikan pengetahuan dan life skills yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari, menempatkan capaian siswa Indonesia di lapisan bawah di semua bidang studi (membaca, matematika, dan sains).

Tidak sekadar memberi peringkat, penyelenggaraan PISA sebenarnya ditujukan untuk memberi informasi berharga bagi para pengambil kebijakan pendidikan di berbagai negara guna menentukan langkah strategis yang tepat bagi pemenuhan hak anak akan pendidikan bermutu.

Faktor sosial ekonomi

Salah satu penelitian penting yang memanfaatkan kekayaan data PISA dilakukan J Douglas Willms (2006) dari UNESCO Institute for Statistics. Selain menggunakan data PISA tahun 2000 dan 2002 dengan memfokuskan pada kemampuan membaca, Willms juga menggunakan data tahun 2001 dari The Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yang bertujuan menilai kemampuan membaca siswa kelas IV SD. Willms menelaah kontribusi faktor sosial ekonomi—baik kondisi sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara—terhadap kemampuan membaca. Ia menggunakan salah satu metode statistik paling mutakhir saat ini, Hierarchical Linear Modeling (HLM), yang amat tepat digunakan pada data bertingkat (multi-level data).

Dengan HLM, kontribusi kondisi sosial ekonomi sekolah maupun negara terhadap prestasi belajar siswa, di luar kondisi sosial ekonomi siswa, dapat dijelaskan. Kondisi sosial ekonomi siswa, antara lain, meliputi tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, struktur keluarga, dan ketersediaan fasilitas pendidikan di rumah, termasuk buku-buku dan komputer. Kondisi sosial ekonomi sekolah diukur oleh kualitas infrastruktur sekolah, seperti ketersediaan alat-alat penunjang proses pembelajaran, kondisi gedung sekolah, kualifikasi guru, ketersediaan komputer, dan perangkat lunak penunjang proses pembelajaran, rasio guru dan murid, waktu yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca, disiplin, dan rasa aman di sekolah, serta dukungan orangtua terhadap sekolah.

Hasil penelitian itu menegaskan kembali fakta, faktor sosial ekonomi amat dominan dalam menentukan keberhasilan siswa, meski bukan satu-satunya. Secara umum, kemampuan membaca siswa di negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang berpendapatan tinggi lebih baik ketimbang di negara-negara non-OECD, yang mayoritas berpendapatan rendah, kecuali Singapura dan Hongkong. Ditunjukkan pula, kesenjangan prestasi siswa di negara-negara non-OECD lebih lebar ketimbang di negara-negara OECD. Bahkan, prestasi siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah masih tertinggal dibanding siswa dari keluarga berpenghasilan tinggi yang tinggal di negara-negara makmur.

Kondisi sosial ekonomi sekolah juga berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam membaca, di luar kontribusi faktor sosial ekonomi siswa. Secara umum, siswa akan memiliki peluang lebih besar untuk berprestasi bila sekolah mereka memiliki kondisi sosial ekonomi lebih baik. Sebaliknya, mereka cenderung berprestasi lebih rendah dari yang semestinya, bila sekolah memiliki kondisi sosial ekonomi lebih lemah. Dalam hal ini, kelompok yang paling dirugikan adalah siswa dari keluarga berpenghasilan rendah yang belajar di sekolah-sekolah yang memprihatinkan. Orangtua mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi memadai untuk mengompensasi rendahnya mutu pendidikan yang diterima anak-anak mereka di sekolah.

Kebijakan yang tepat

Dengan melihat lebih teliti data PISA dan PIRLS, pendapat berdasar pengetahuan umum (common sense) bahwa status sosial ekonomi siswa, sekolah, maupun negara yang bersangkutan merupakan salah satu faktor dominan dalam menentukan prestasi siswa mendapat bukti empiris yang kian kokoh. Kemampuan negara maupun sekolah dalam memberi peluang bagi siswa dari kelompok yang lemah secara sosial ekonomi untuk mendapat akses pendidikan berkualitas, merupakan kunci penting untuk meningkatkan prestasi siswa di suatu negara secara keseluruhan dan mengurangi kesenjangan mutu pendidikan.

Dalam konteks ini, kebijakan UN dan menaikkan standar kelulusan semata-mata, tidak efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan, meski sedikit banyak dapat memacu motivasi belajar siswa. Kebijakan itu tidak mengarah pada dua faktor penting yang berhubungan erat dengan kualitas pendidikan, yaitu kualitas sekolah dan kemiskinan.

Untuk peningkatan kualitas sekolah, pemenuhan amanat konstitusi agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, tidak dapat ditawar lagi. Status sosial ekonomi sekolah, seperti ditunjukkan dalam analisis lebih saksama terhadap PISA dan PIRLS, berperanan penting meningkatkan prestasi siswa.

Kualitas hasil pendidikan juga ditentukan kondisi sosial ekonomi siswa. Karena itu, memerangi kemiskinan menjadi faktor penting. Meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkeras untuk berpatokan pada angka kemiskinan yang dikeluarkan BPS (16,6 persen) ketimbang angka kemiskinan dari Bank Dunia yang lebih spektakuler (42,6 persen), pemerintah hendaknya berani menilai apakah dengan standar BPS itu sebuah keluarga dapat memenuhi kebutuhan minimal sehari-hari di tengah kian tingginya biaya hidup. Bukti-bukti empiris penelitian kualitas pendidikan menegaskan, pemerintah tak dapat berkelit dari tanggung jawab untuk memerangi kemiskinan. Jangan biarkan lemahnya kondisi sosial ekonomi menjadi penghalang anak Indonesia mewujudkan potensi maksimal mereka.

Elin Driana Koordinator Lembaga Konsultasi Pendidikan Lazuardi Global Islamic School, Wakil Koordinator Education Forum

Jumat, 25 Januari 2008

Bush = Nekat = Predator

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Tampaknya seorang penguasa, atau lebih pantas disebut kaisar tipe abad tengah, seperti Presiden Bush, sulit sekali membuka telinga untuk mendengar seruan kebenaran. Dulu alasan utama untuk menyerang Irak tahun 2003 adalah karena katanya Saddam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal, tetapi ternyata tuduhan itu hanyalah sebuah isapan jempol.
Kemudian setelah Irak hancur, mata pedangnya diarahkan kepada Iran karena negara ini dituduh sedang mengembangkan persenjataan nuklir. Dr Muhammad Al Baradei, direktur jenderal IAEA sudah berkali-kali mengatakan bahwa pengembangan nuklir Iran semata-mata bertujuan damai, sama sekali tidak punya dimensi persenjataan atau militer. Tetapi, telinga Bush dan pendukungnya kelompok neo-konservatif Amerika tetap saja tertutup. Ambisi untuk menyerang Iran terus saja diagendakan, sementara Israel yang sudah lama punya senjata nuklir dibela sampai ke ujung langit. Tidak peduli apa kata dunia, pokoknya Israel tidak boleh diganggu.

Semetara itu, negara-negara Arab karena virus perpecahan yang terus menggerogoti mereka telah lama lumpuh menghadapi agresi Israel dengan dukungan penuh Amerika. Kemerdekaan Palestina yang dulu pernah dikatakan Bush akan terjadi tahun 2005, semakin tidak jelas saja. Ironisnya lagi, perseteruan Hammas dan Fatah sebagai wabah internal Palestina telah semakin melemahkan posisi bangsa yang menderita ini dalam upaya mendapatkan kemerdekaannya.

Bahwa Iran ingin menjadi yang dipertuan di kawasan Asia Barat, memang tidak dapat disangkal. Inilah sebenarnya yang dicemaskan Amerika karena akan sangat mengganggu dominasi imperialistiknya di bumi yang kaya minyak ini. Sebab itu harus dicari segala akal agar Iran tidak tampil sebagai negara terkuat di wilayah ini. Dalam pada itu, untuk menghadapi Iran, negara-negara Arab tertentu sesungguhnya lebih memercayai Amerika sebagai pelindung.
Dengan demikian pertanyaan tentang di mana peran dan posisi Alquran di kalangan negara-negara Muslim itu menjadi tidak relevan. Baik negara-negara Arab maupun Iran telah berabad-abad memiliki tafsiran sendiri terhadap Kitab Suci ini dengan akar teo-politik yang sulit didamaikan. Pertanyaan itu baru relevan jika semuanya mau membebaskan diri dari subjektivisme historis dan kepentingan duniawi.

Tetapi, siapa yang mau memulai terobosan strategis itu? Di sinilah terletaknya masalah pelik itu. Kembali ke isu nuklir Iran. Hari-hari ini Bush tengah menghadapi tantangan yang sangat serius, justru datang dari Badan Pertimbangan Intelijen Nasional Amerika (NEI) sendiri, bukan lagi dari IAEA yang dipimpin Al Baradei itu, seorang Muslim asal Mesir. NEI dalam laporannya setebal 100 halaman baru saja membeberkan bahwa Iran telah menghentikan program senjata nuklirnya sejak tahun 2003. Dengan fakta ini habislah alasan untuk menyudutkan Iran dengan segala macam sanksi PBB hasil rekayasa Amerika.
Tetapi, untuk kepentingan neo-imperialismenya, Amerika pasti akan tetap nekat sampai Iran hancur pula. Maka, julukan yang dipasangkan penulis Perancis Emmanuel Todd terhadap Amerika sekarang sebagai predator, bukan lagi protektor (pelindung), sangat beralasan dan tepat sekali. Dalam kaitannya dengan Amerika sekarang, watak predator itu tampak dalam nafsu untuk memangsa siapa atau apa saja yang dipandang sebagai perintang bagi terwujudnya sebuah ambisi besar mengangkangi dunia. Sebuah ambisi utopis yang sudah sangat kesiangan, tetapi Bush tetap saja nekat untuk memburunya. Inilah sumber malapetaka global itu. Quo vadis Amerika?

Republika, Selasa, 11 Desember 2007

Rabu, 02 Januari 2008

Tantangan Pendidikan 2008 oleh Prof. Suyanto,Ph.D

Tantangan Pendidikan 2008 Oleh Prof Suyanto PhD

PENGEMBANGAN layanan pendidikan yang bersifat terbuka dan aspiratif, merupakan suatu proses penting dan positif dalam pembangunan pendidikan yang mengedepankan kualitas dan relevansi. Hal ini menjadi sangat penting dalam kerangka pengembangan dialog positif dan saling menghargai dalam proses transfer ilmu pengetahuan yang seharusnya berlangsung secara jujur, terbuka, dan tentunya lebih pedagogis. Atas dasar ini, penyelenggaraan pendidikan memungkinkan adanya ruang lebih luas bagi para stakeholders pendidikan bisa, mau, dan mampu terlibat secara horisontal memberikan kontribusinya dalam seluruh proses penyelenggaraan pelayanan pendidikan. Di dalam konsep pembangunan sumberdaya insani yang unggul, transparansi dan dialog terbuka dalam pembangunan pendidikan menjadi dasar kuat pentingnya pengembangan pendidikan yang berbasis pada kebutuhan pasar global yang multi-kompetitif. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa pembangunan model-model layanan pendidikan dimaksud harus pula dilakukan secara terintegrasi yang mampu mengadopsi dan mengakomodasi keberanekaragaman nilai yang hidup dan berkembang dalam konteks kepentingan-kepentingan yang berbeda. Inilah sebuah landasan pembangunan pendidikan yang menjadi dasar penting yang lebih menjanjikan di dalam kompleksitas kepentingan pasar.


Konteks pendidikan yang terbuka, transparan, dan mengutamakan tingginya kualitas dan relevansi, dengan demikian, merupakan sebuah jawaban untuk menjembatani perbedaan-perbedaan karakter kepentingan lokal, nasional, maupun global yang diusung dalam paradigma keterbukaan dan demokratisasi pendidikan yang pernah menjadi kendala pembangunan pendidikan nasional selama lebih dari setangah abad. Sebagai bangsa yang majemuk, sudah pasti kepentingan-kepentingan yang berkembang pun sangat terdiversivikasi. Hal ini pada gilirannya mewarnai kebijakan-kebijakan pembangunan yang lahir di berbagai daerah termasuk dalam bidang pendidikan. Kepentingan etno-politis dan etno-kultur tidak dapat disangkal memiliki pengaruh kuat dalam proses pendidikan yang berlangsung. Karena itu, tidak dapat dihindari munculnya kepentingan dan orientasi politik dalam dunia pendidikan. Karena, kompleksitas kepentingan, baik dalam konteks sosial, ekonomi, budaya maupun politik yang ada pada gilirannya harus mampu diangkat menjadi model penting dalam mengembangkan model-model layanan pendidikan yang berakar pada kebutuhan dan kepentingan-kepentingan lokal untuk mendorong terjadinya percepatan transfer ilmu pengetahuan pada tingkat kepentingan yang berbeda. Secara empiris, kompleksitas kepentingan di dalam pembangunan pendidikan tersebut perlu dikelola secara terarah sehingga tidak menjadi potensi konflik yang dapat menjadi kendala dalam membangun kualitas sumberdaya manusia yang handal. Pilihannya adalah mensinergikan berbagai perbedaan yang ada menjadi sebuah kekuatan di dalam sebuah konsep pembangunan pendidikan yang dapat menjadi payung dalam seluruh proses pembangunan pendidikan nasional yang diselenggarakan.


Oleh karena itu, memahami dan mengakomodasi berbagai kepentingan sosial kultural yang mengakomodasi the core of culture terutama di dalam konteks lokalitas sosiologis yang berbeda harus dapat dilakukan secara rasional dan terbuka guna meleburkan kelompok kepentingan sosial budaya yang berbeda. Pertanyaan mendasar yang seringkali muncul dalam setiap konteks pembangunan pendidikan yang diselenggarakan adalah menyangkut skala prioritas pembangunan dan konteks sosial-ekonomi dan politik pelayanan pendidikan nasional yang diselenggarakan. Artinya, bila pada satu sisi pendidikan memiliki peran signifikan guna membangun masyarakat yang memiliki keberanekaragaman kepentingan, latar belakang sosio-ekonomi dan politik dengan segala karakter yang dimilikinya, maka penyelenggaraan pelayanan pendidikan harus mampu menjembatani perbedaan-perbedaan kepentingan untuk mengubah perbedaan-perbedaan tersebut menjadi potensi penting pembangunan nasional yang berkarakter dan memiliki daya saing handal di pergaulan global yang lebih kompetitif. Dengan demikian, konsep pendidikan yang berkarakter pun harus dikembangkan guna membuka isolasi-isolasi lintas kepentingan yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan efek penguatan yang bersifat substantif dalam penyelenggaraan pendidikan di berbagai jenjang. Dalam konteks pembangunan pendidikan nasional, maka semangat tahun baru harus pula mampu memompa semangat pembangunan dan pengabdian yang lebih segar untuk mendorong percepatan peningkatan kualitas pembangunan nasional. Pergantian tahun tidak hanya berarti pergantian waktu, tetapi harus mampu mencerminkan perubahan-perubahan besar di dalam seluruh proses kehidupan dan pembangunan termasuk dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, suatu proses penyegaran semangat dalam konteks pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas dan kompetitif harus pula mampu memberikan alternatif-alternatif konseptual dan praksis yang dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang beragam dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk. Penyelenggaraan layanan pendidikan pun harus pula dapat menciptakan ruang dialog baru untuk menjembatani perbedaan-perbedaan nilai dan kepentingan yang saling mengisi di dalam konteks semangat pembangunan generasi bangsa yang tetap dinamis.

(Penulis adalah Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Direktur Jenderal Mandikdasmen Depdiknas)-n